Sabtu, 15 Oktober 2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur hanya bagi Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i”
Makalah merupakan karya tulis ilmiah karena disusun berdasarkan kaidah kaidah ilmiah yang dibuat oleh mahasiswa dalam rangka menyelesaikan tugas. Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh. Untuk itu, makalah ini disusun dengan memakai bahasa yang sederhana dan mudah untuk dipahami.
Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Mata Kuliah Ushul Fiqh, Bapak Koko Khoerudin, M.Pd.I yang telah memberikan tugas kepada kami.
Sebagai sebuah makalah, tidak lepas dari kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang berkepentingan, guna penyempurnaan makalah ini. Selanjutnya terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini sehingga dapat diselesaikan. Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini dapat digunakan oleh pembaca dengan baik.


BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at.Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani')dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Maka, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul fiqh.

  1. Rumusan Masalah
  1. Apa yag di maksud dengan hukum syar’i?
  2.  Apa yang dimaksud dengan hukum taklifi?
  3. Apa yang dimaksud dengan hukum wad’i?

  1. Maksud dan Tujuan
Untuk memenuhi Tugas yang diberikan oleh Dosen Mata Kuliah Ushuk Fiqh, dan dengan ditulisnya makalah ini penulis berharap dapat membantu memberikan pengetahuan mengenai hokum Taklifi dan hokum Wadh’i sehingga dapat bermanfaat pada khususnya bagi penyusun makalah dan umumnya untuk para pembaca


BAB II
PEMBAHASAN

  1. Hukum Taklifi
  1. Pengertian Hukum Taklifi
Menurut bahasa, hukum taklifi adalah hukum pemberian beban. Hukum Taklifi adalah hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat, menuntut untuk tidak berbuat atau menghendaki agar mukallaf memilih antara berbuat atau tidak.
Contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat adalah firman Allah SWT :
خذ من اموا لهم صدقة (التوبة : ١٠٣)  
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka (QS. At Taubah ; 109)
و لله على الناس حج البيت (ال عمران : ٩٧)
Mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah. (QS. Ali Imran : 97)
Adapun contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk tidak berbuat adalah firman Allah SWT :
لا يسسخققووممو من قووم (الحجرات : ١١)
Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (QS. Al Hujurat : 11)
Sedangkan contoh hukum yang menghendaki agar mukallaf memilih antara berbuat dan meninggalkan adalah firman Alllah SWT :
و اذا ححللتم فاصطادوا (المئدة : ٢)
Dan apabila kamu  telah menyelesaikan ibadah haji, maka kamu boleh berburu. (QS. Al Maidah : 2)
Hukum-hukum seperti contoh tersebut disebut hukum taklifi karena mengandung paksaan kepada mukallaf untuk berbuat, tidak berbuat dan memilih antara berbuat atau tidak. Alasan pemberian nama itu sudah jelas dalam hal tuntutan kepada mukallaf.
  1. Pembagian macam-macam Hukum
Hukum Taklifi terbagi menjadi lima yaitu Al Ijab (kewajiban), Al Nadb (Sunnah), Al Tahrim (Haram), Al Karahah (Makruh), dan Al Ibahah (mubah).
  1. Wajib (Al-Ijab)
Wajib menurut Syara’ adalah suatu perkara yang diperintahkan oleh syara’ secara keras kepada mukallaf untuk melaksanakannya. Atau menurut definisi lain ialah suatu perbuatan kalau dikerjakan mendapat pahala dan kalau ditinggalkan akan mendapat siksa. Wajib dikenali dari lafad atau tanda lain.
Contoh melalui lafadz :
كتب عليكم الصيام ... (البقرة : ١٨٣)
Artinya : Diwajibkan atas kamu berpuasa  … (QS. Al Baqarah : 183)



Lalu wajib dibagi menjadi beberapa macam:
  1. Wajib dari segi waktu
  1. Wajib Muaqqot
yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ untuk mengerjakannya dan waktunya sudah ditentukan.Contoh : sholat, puasa romadlon dan lain-lain.
  1. Wajib Mutlak
yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ yang waktunya belum ditentukan. Contoh : haji yang diwajibkan bagi yang mampu dan waktunya ini belum jelas.
  1. Wajib dari segi orang yang mengerjakan
  1. Wajib ‘aini
yaitu perkara wajib yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap individu yang tidak boleh diwakilkan pada orang lain. Contoh : sholat, puasa
  1. Wajib kafai
yaitu wajib yang dibebankan pada sekelompok orang dan kalau sakah seorang adayang mengerjakan gugur kewajiban yang lain. Contoh sholat mayit , amar ma’ruf nahi mungkar dan lainnya.
  1. Wajib dari segi kadar tuntutan .
  1. Wajib Mukhaddat
yaitu perkara yang sudah ditentukan syara’ bentuk perbuatan yang di wajibkan dan mukallaf dianggap belum melaksanakan kewajiban sebelum melaksanakan seperti apa yang diwajibkan syara’.Contoh sholat, zakat, dan lainnya.

  1. Wajib Ghoiru Mukhaddat
yaitu perkara wajib yang tidak ditentukan cara pelaksanaannya dan waktunya , san diwajibkan atas mukallaf tanpa paksaan. Contoh infaq dijalan Alloh ,menolong orang kelaparan, dan lainnya.
  1. Wajib juga dibagi menjadi Mua’yan dan Mukhoyar
  1. Mua’yan
yaitu kewajiban melakukan sejenis perbuatan tertentu seperti sholat, puasa, dan lainnya. Dan mukallaf belum gugur kewajibannya sebelum melaksanakannya.
  1. Mukhoyar
yaitu sebuah kewajiban untuk melakukan beberapa macam perbuatan tertentu dengan memilih salah satu dari yang ditentukan. Contoh melanggar sumpah, maka kafarotnya ialah memberi makan sepuluh orang miskin atau pakaian ataupun juga memerdekakan budak.
  1. Sunnah /( An-Nadb)
Sunnah  adalah suatu perkara yang perintahkan oleh syara’ kepada mukallaf untuk mengerjakannya dengan perintah yang tidak bigitu keras atau definisi lain yaitu diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya .
Sighatnya mandub dapat diketahui dengan lafadznya seperti kata disunnahkan / dianjurkan atau sighot amar, tapi ditemui dalam nash itu tanda yang menunjukkan perintah itu tidak keras.
Contoh ayat Al Quran surat Al Baqarah ayat 282 yang artinya  ‘’Hai orang – orang beriman, apabila kamu hutang piutang tidak secara tunai hendaklah kamu melunasinya”

Mandub dibagi menjadi tiga bagian:
  1. Sunnah Hadyi
yaitu suatu perkara yang disunnahkan sebagai penyempurna perbuatan wajib.Orang yang meninggalkannya tidak dikenai siksa tetapi tercela. contoh adzan, sholat berjamah dan lain – lain.
  1. Sunnah Zaidah
yaitu perkara yang disunnahkan untuk mengerjakannya sebagai sifat terpuji bagi mukallaf, karena mengikuti nabi sebagai manusia biasa. seperti makan, minum, tidur dll.
  1. Sunnah Nafal 
yaitu perkara yang disunnahkan karena sebagai pelengkap perkara wajib. Bagi yang mengerjakannya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak disiksa / dicela. Contoh sholat sunnat
  1. Haram (At-Tahrim)
Haram adalah perkara yang dituntut oleh syara’ untuk tidak mengerjakannya secara keras. Dengan kata lain kalau dikerjakan mendapat aiksa kalau ditinggalkan mendapat pahala. Contoh ayat
لا تقربوا الزنا ... (الاسلراء : ١٨)
Artinya : Janganlah kamu mendekati zina … (QS. Al Israa : 32)


Haram dibagi dua yaitu:
  1. Haram asli karena zatnya 
yaitu perkara yang diharamkan dari asalnya atau asli karena zatnya. Karena dapat merusak/ berbahaya. Contoh zina mencuri dll.
  1. Haram ghoiru zat 
yaitu perkara yang hukum aslinya itu wajib, sunnah, mubah, tapi karena mengerjakannya dibarengi dengan cara atau [perkara haram seingga hukumya haram. Contoh sholat memakai dari baju hasil menggosob dll.
  1. Makruh (Al- Karahah)
Makruh adalah perkara yang dituntut syara’ untuk meninggalkannya namun tidak begitu keras. Dengan kata lain perkara yang dilarang melakukan tapi tidak disiksa bagi yang mengerjakan.
Contoh ayatnya adalah Al Quran surat Al Maidah yang artinya : “Hai orang –orang yang beriman jangalah menanya hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu niscaya menyusahkan kamu.’’
Makruh menurut Hanafiah dibagi dua :
  1. Makruh Tahtiman yaitu perkara yang ditetapkan meninggalkannya dengan bersumberkan dalil dhonni. seperti hadist ahad dan qiyas. contoh memakai perhiasan emas dan sutra asli bagi kaum lelaki yang diterangkan dalam hadist ahad dan hukumnya mendapatkan hukuman bagi yang meninggalkannya.
  2. Makruh Tanzih yaitu perkara yang dituntut untuk meninggalkanya dengan tuntutan yang tidak keras. seperti memakan daging keledai ahli / jinak dan meminum susunya hukumnya tidak mendapatkan siksa bagi yang melakukannya.

  1. Mubah (Al-Ibahah)
Mubah adalah perkara yang dibebaskan syara’ untuk memilih atau meninggalkannya .
Contoh ayat
و اذا ححللتم فاصطادوا (المئدة : ٢)
Dan apabila kamu  telah menyelesaikan ibadah haji, maka kamu boleh berburu. (QS. Al Maidah : 2)
Pembagian mubah dibagi menjadi tiga macam :
  1. Yang diterangkan syara’ tentang kebolehannya memilih antara memperbuat atau tidak.
  2. Tidak diterangkan kebolehannya namun syara’ memberitahukan bahwa syara’ memberikan kelonggaran bagi yang melakukannya.
  3. Tidak diterangkan sama sekali baik boleh mengerjakan atau meninggalkan yang seperti ini kembali ke baroitul asliyah.
Lima macam hukum taklifi yang diterangkan diatas adalah pembagian menurut jumhurul ulama, namun menurut ulama hanafiyah dibagi menjadi tujuh. Tiga perkara yang dituntut ialah: fardlu, wajib, mandub, dan tiga perkara yang dilarang yaitu: haram, makruh tanzih, makruh tahrim, dan bagian yang ketujuh adalah mubah.
Perkara dikatakan fardlu bila dalil yang menunjukkannya dari Al Quran dan sunnah yang mutawatir, seperti sholat. Tapi kalau diterangkan dari nash dhonni seperti hadist ahad qiyas dianamakan wajib seperti bacaan fatihah dalam sholat. Kalau tuntutan tidak keras di namakan mandzub kalau larangannya keras dan dalilnya khot’I seperti Al-Quran dan Sunnah mutawatir dinamakan haram, contoh zina. Kalau dalilnya dzanni dinamakan karohiatuttahrim, kalau tidak keras dinamaknkarohiatuttahrim tamzih, dan kalau tidak diterangkan hukumnya dinamakan mubah.
  1. Hukum Wadh‘i.
  1. Pengertian Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu. Bila firman Allah menunjukkan atas kaitan sesuatu dengan hukum taklifi, baik bersifat sebagai sebab, atau syarat, atau penghalang maka ia disebut hukum wadh’i. Di dalam ilmu hukum ia disebut pertimbangan hukum.
Adapun contohnya yaitu :
  1. Firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab:
.يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ امَنُوْآاِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْ هَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ ....( المائدة :6)
Artinya :”Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri untuk mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada suku.”(QS. Al-Ma’idah:6)
Ayat di atas dapat dipahami bahwa mendirikan shalat menjadi sebab untuk mewajibkan wudhu atau menjadikan sesuatu adalah sebab terhadap sesuatu.
  1. Firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai syarat:
لَا نِكَاحَ اِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَىْ عَدْلٍ (روه احمد)
Artinya :”Tidak syah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ahmad)
Dua orang saksi menjadi syarat untuk sahnya pernikahan itulah yang dimaksud dengan menentukan sesuatu menjadi sahnya sesuatu.

  1. Contoh mani’ atau penghalang seperti tercantum dalam hadist yang berbunyi :
لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ المِيْرَاثِ شَيْءٌ (رواه النسائ والدا رقطنى)
Artinya:”Tidak sedikitpun bagian orang yang membunuh dari harta warisan (yang terbunuh)”. (HR. Nasa’i dan Daraquthi dari Amrin bin Suaib dari ayahnya dan dari anaknya)
Hadist tersebut menunjukkan bahwa membunuh sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.
  1. Macam-Macam Hukum Wadh’i
Para ulama fiqh menyatakan bahwa hukum wadh’i itu ada lima macam, yaitu :
  1. Sebab
  1. Pengertian Sebab
Sebab menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai tanda atas musababnya dan mengkaitkan keberadaan musabab, dengan ketiadaannya. Hukum syara’ kadang-kadang diketahui melalui tanda yang menunjukkan bahwa perbuatan itu menjadi kewajiban mukallaf. Misalnya: Perbuatan zina menyebabkan seseorang dikenai hukuman dera 100 kali, tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya sholat dhuhur, dan terbenamnya matahari menjadi sebab wajibnya shalat magrib. Apabila perzinaan tidak dilakukan, maka hukuman dera tidak dikenakan. Apabila matahari belum tergelincir, maka shalat dhuhur belum wajib. Dan apabila matahari belum terbenam, maka shalat mahgrib belum wajib.
Dengan demikian terlihat hukum wadh’i dalam hal ini adalah sebab, dengan hukum taklifi,  keberadaan  hukum wadh’i itu tidak menyentuh esensi hukum taklifi. Hukum wadh’I hanya sebagai petunjuk atau indikator untuk pelaksanaan hukum taklifi. Akan tetapi, para ulama’ ushul fiqih menetapkan bahwa sebab itu harus muncul dari nash, bukan buatan manusia.
  1. Pembagian sebab
Secara garis besar sebab ada dua macam, yaitu:
  1. Sebab yang tidak termasuk perbuatan mukallaf.
Seperti dalam contoh tibanya waktu shalat dan menimbulkan wajibnya shalat. Dalam firman Allah SWT.:
اَقِمِ الصَّلَا ةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ...
Artinya:” dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir….( Q.S. Al-isra’ : 78 )
  1. Sebab yang berasal dari perbuatan mukallaf.
Seperti pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja yang menyebabkan adanya qishas. Dalam firman Allah SWT. :
يَآ أَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الْثِصَاصُ فِى القَتْلَى.....
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuhHai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh….”( al-Baqarah:178)




  1. Syarat
  1. Pengertian syarat
Syarat ialah sesuatu yang berada di luar hukum syara’, tetapi keberadaannya hukum syara’ bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada, hukum pun tidak ada, tetapi, adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’.
Misalnya: Wudlu adalah salah satu syarat sahnya shalat. Sholat tidak dapat dilaksanakan, tanpa berwudlu terlebuh dahulu. Akan tetapi apabila seseorang berwudlu, ia tidak harus melaksanakan shalat.
  1. Pembagian syarat
Para ulama’ memberi uraian tentang pembagian syarat dengan berbagai tinjauan, akan tetapi yang terpenting ialah bahwa ditunjau dari segi penetapannya sebagai hukum syara’, syarat dibagi menjadi dua bagian yaitu :
  1. Syarat Asy-syar’iyyah
Ialah syarat yang menyempurnakan sebab dan menjadikan efeknya yang timbul padanya yang ditentukan oleh syara’.
Misalnya: akad nikah dijadikan syarat halalnya pergaulan suami istri namun agar akad nikah itu sah disyaratkan dihadiri oleh dua orang saksi. Dengan demikian apabila akad atau tindakan hukum tidak akan menimbulkan efekya kecuali apabila syarat-syaratnya telah terpenuhi.
  1. Syarat Al-Ja’liyyah
Ialah syarat yang menyempurnakan sebab dan menjadikan efeknya yang timbul padanya yang ditentukan oleh mukallaf. Contohnya , seorang suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya dengan mengatakan: “ jika engkau mengulangi perkataan dusta itu, maka talakmu jatuh satu”. Dengan demikian talak tidak akan menimbulkan efeknya kecuali tidak terpenuhi syarat talak.

  1. Mani’
  1. Pengertian Mani’
Menurut bahasa berarati “ penghalang “. Sedangkan dari segi istilah yang dimaksud dengan mani’ adalah :[13]
مَا رَتَّبَ الشَّارِعُ عَلَى وُجُوْدِهِ عَدَمُ وُجَوْدِالحُكْمَ أَوْعَدَمُ السَّبَبَ اَيْ بُطْلَانُهُ
“ sesuatu yang ditetapkan oleh syar’i keberadaannya menjadi ketiadaan hukum atau ketiadaan sebab, maksudnya batalnya sebab itu.”
Misalnya: hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan (waris-mewarisi ). Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapatkan bagian warisan dari harta ayah atau suami yang wafat sesuai dengan bagian masing-masing akan tetapi, hak mewarisi ini bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah tersebut.
( H.R.Bukhari-Muslim ). Jadi, yang menghalangi ahli waris untuk mendapatkan warisan itu karena membunuh orang yang mewarisi.
  1. Pembagian Mani’
Para ulama’ membagi mani’ dari sisi pengaruhnya bagi sebab dan hukum menjadi dua macam :
  1. Mani’ yang menghalangi adanya hukum
Yang dimaksud dengan mani’ yang menghalangi adanya hukum syara’, ialah ketetapan asy-syar’i yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi penghalang berlakunya hukum syara’ yang umum. Misalnya: hukum syara’ yang umum menyatakan wajib shalat bagi setiap mukallaf, baik laki-laki maupun wanita. Akan tetapi, syara’ juga menetapkan, haid dan nifas merupakan penghalang bagi wanita untuk dikenakan kewajiban meng-qadha’ shalat yang tidak dilaksanakan selama haid atau nifas
  1. Mani’ yang menghalangi hubungan sebab
Yaitu ketetapan asy-syar’i yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi penghalang bagi lahirnya musabbab/ akibat hukum dari suatu sebab syara’ yang berlaku umum. Misalnya:  jumlah harta yang telah mencapai kadar nishab dan telah dimiliki selama satu tahun ( haul ) merupakan sebab bagi kewajiban mengeluarkan zakat. Akan tetapi, ketetapan syara’ juga menyatakan bahwa keadaan berhutang merupakan penghalang ( mani’ ) bagi seseorang untuk dikenakan kewajiban zakat.

  1. Kaitan antara sebab, syarat, dan mani’
Dari rumusan definisi dan penjelasan diatas, terlihat bahwa antara sebab, syarat, dan halangan terdapat hubungan yang saling terkait. Mani’ ada bersamaan dengan sebab dan syarat, dan berakibat tidak adanya hukum disebabkan keberadaan mani’. Misalnya, matahari telah tergelincir sebagai penyebab disebabakannya shalat dhuhur dan seorang wanita mukallaf wajib berwudlu sebagai syarat sah shalat. Tetapi jika wanita yang akan shalat itu sedang haid yang menjadi penghalang ( mani’ ) maka hukumnya menjadi tidak ada, karena wanita dalam keadan haid tidak boleh melaksanakan shalat.




BAB III
PENUTUPAN
  1. Simpulan
Hukum Islam dibagi menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan. Hukum Taklifi ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu wajib,mandub, haram, makruh, mubah.
Hukum Wadh’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (mani’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. Hukum wadh’i dibagi menjadi tiga, yaitu sebab, syarat, mani’.

  1. Penutup
Demikian  makalah yang dapat kami paparkan tentang hukum syar’i, semoga bermanfa’at bagi pembaca pada umumnya dan pada kami pada khususnya. Dan tentunya makalah  ini tidak lepas dari kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat kami butuhkan, guna memperbaiki makalah selanjutnya. Terima kasih







DAFTAR PUSTAKA

  1. Abdul Wahhab Al Khallaf, 2003, Ilmu Ushul Fikih, Pustaka Amani Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar